Surga itu tempat ataukah Rasa ?

Written By Kang Soegie on Kamis, 10 Januari 2013 | 14.18

Pernahkah terbersit dalam pikiran kita sebuah pertanyaan "Surga itu sebuah tempat ataukah rasa ?"
Barangkali pertanyaan ini mungkin suatu pertanyaan yang jarang terpikirkan oleh kita ataupun sebagian orang. Dan barangkali juga, banyak orang akan dengan mudah menjawab pertanyaan di atas, dengan jawaban bahwa "Surga itu tempat". Dan di dalam Al-Qur'an sendiri surga yang disebut sebagai 'jannah', digambarkan sebagai sebuah tempat yang memiliki sungai-sungai dengan mata air yang jernih. "Jannatin tajri min tahtihal anhar", surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, demikian susunan kata-kata dipuluhan ayat Al-Qur'an, sementara kata 'janna' di sebut lebih dari 200 ka;i.

Surga juga digambarkan seperti sebuah istana kerajaan megah. Penghuninya bergelimang kemewahan. Seperti dinyatakan dalam surrah al-Kahfi ayat 31 yang melukiskan surga "Adn,"... mengalirlah sungai-sungai dibawahnya; dalam surga itu, mereka (penghuninya) dihiasi dengan kalung emas dan memakai pakaian hijau dari sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah".

Membayangkan surga yng digambarkan seperti dalam surrah Al-Kahfi: 13 itu tersebut jadi seperti membayangkan sebuah istana seorang sultan yang megah, ada taman-taman yang indah, perhiasan emas berkilauan, sofa yang empuk dengan desain maha karya luar biasa artistik, pakaian sutera yang indah... ya, berwarna hijau.

Dan sebuah istana biasanya dihiasi dengan dayang-dayangnya yang cantik atau, seperti yang banyak diceritakan dalam kisah-kisah seribu satu malam, dipenuhi dengan harem-harem manis nan molek, begitu juga surga dilukiskan, bidadari-bidadari nan cantik jelita senantiasa memperelok keindahan surga. "Di dalam surga itu, ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka..." demikian dalam surrah al-Rahman: 56. "...yang jelita, indah matanya, terlindung dalam rumah". Lalu dalam al-Waqi'ah: 22-23, "ada bidadari-bidadari bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan dengan baik".

Di Surga, sebagaimana di gambarkan Al-Qur'an, minum-minuman dan buah-buahan juga dilukiskan seperti pesta-pesta para sultan, atau di kebun-kebun istana, para penghuni surga meminum anggur banyak-banyak, tapi tidak mabuk. Ada susu, madu dan aneka macam minuman lainnya. Buah-buahan tidak pernah berkurang. Di kebun, jika dipetik satu  buah, segera tumbuh lagi terus-menerus. Para penghuni surga memakan buah-buahan itu, tapi tidak pernah bosan.

Begutulah, Al-Qur'an selalu melukiskan surga secara mendetail, sebuah tempat nun jauh di sana, JANNATIN NA'IM, yang penuh kenikmatan. Ya, kenikmatan.

Lalu timbul sebuah pertanyaan. Surga yang digambarkan sebagai tempat nan penuh dengan kenikmatan, tapi dimanakah letak kenikmatan ? bukankah kenimkatan itu persektive ? bagi orang yang biasa hidup di gurun, dimana sumber air sangat langka, menemukan sungai dengan mata air jernih adalah kenikmatan luar biasa, tetapi tidak demikian halnya dengan mereka yang tinggal di Kalimantan misalnya, dimana sungai sangat mudah di jumpai, bahkan jadi pemandangan utama, dan sumber air juga gampang ditemui, jadi aliran sungai dengan air yang jernih bukanlah menjadi sebuah kenikmatan yang agung. apalagi kemawahan.

Dan barangkali, bagi orang gurun pula, yang menghadapi terik matahari sepanjang hari, sebuah tempat teduh akan terasa begitu nikmatnya. ZHILLIN MAMDUD, kata Al-Qur'an, naungan teduh yang terbentang luas. Namun, bagi orang-orang yang hidup di daerah dingin seperti desa-desa di kutub, di mana hari-hari hanya salju yang terlihat, orang di dataran Eskimo, misalnya, sebuah tempat teduh menjadi sama sekali tak mengesankan. Lalu, apakah di surga kelak, orang Kalimantan atau orang Eskimo misalnya, tak merasakan nikmat apa-apa alias biasa-biasa saja ?

Jadi... kembali ke pertanyaan semula. Surga itu Tempat atau Rasa ? WALLHU A'LAM, Allah sajalah Yang Mahatahu. Tapi ada sebuah pendapat yang rasanya masuk akal, begini pendapatnya. Al-Qur'an tak hanya memakai bahasa-bahasa indah, tapi juga bijak. Tentang surga, Al-Qur'an sebenarnya hendak melukiskan sebuah kebahagian tiada tara. Dan karena yang disapa adalah orang Arab yang memiliki kebudayaan tertentu, dengan kondisi sosiografis tertentu pula, Al-Qur'an sangat bijak dengan memilih metafor-metafor yang sangat dekat dengan mereka.

Mudahlah dipahami mengapa Al-Qur'an sangat menyukai kalimat TAJRI MIN TAHTIHAL ANHAR, surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai. Dengan kata-kata ini, yang disapa akan mudah menangkap, betapa nikmatnya surga, betapa bahagianya hidup disana. Keindahan dan kemegahan setting surga pun dilukiskan Al-Qur'an dengan mempertimbangkan memori masyarakat yang disapa. Yaitu tentang : istana, aksesoris, pepohonan, buah-buahan dan sebagainya. Kecantikan bidadari-bidadari juga digambarkan sesuai konsepsi kecantikan yang hidup di tempat Al-Qur'an di turunkan.

Sehingga bisa dikatakan, gambaran-gambaran surga dalam Al-Qr'an itu tak lain merupakan cara, ya sebuah cara untuk mengkomunikasikan betapa indahnya surga, betapa nikmat dan bahagianya hidup disana. Kalau gambaran surga dalam Al-Qur'an bersifat fixed, seperti itu adanya, tentu akan muncul banyak pertanyaan. Orang kulit hitam akan bertanya, "Bidadari di surga apakah ada yang berkulit hitam ?". Bukan hanya itu, kaum perempuanpun akan gelisah, "Apa disana tidak ada pangeran gagah ? koq Al-Qur'an cuma menyebut bidadari cantik saja ?"

Semua orang ingin merasa bahagia di surga, tapi khawatir tidak bahagia, karena hal-hal yang membuatnya bahagia tak tergambar atau tak terakomodir dalam Al-Qur'an. Padahal sudah jelas-jelas, Allah menjamin, surga ciptaan-Nya akan membuat semua penghuninya merasakan kebahagiaan tiada tara.

Jadi, Surga itu Tempat ataukah Rasa ?? pertanyaan itu mengemuka kembali dalam benak...

sumber : http://filsafat.kompasiana.com/2009/12/11/surga-tempat-atau-rasa-36645.html