Nak, Maafkan Bapak... (Fiksi)

Written By Kang Soegie on Sabtu, 15 Juni 2013 | 00.39

"Cerita ini hanya fiksi belaka. apabila ada kesamaan kejadian, itu cuma kebetulan saja."

Aku, seorang pria berumur 43 tahun dengan 3 putra dan putri. Tanpa seorang istri yang menemani hari-hari dalam menjalani hidupku. Dia telah pergi banyak tahun lalu saat diriku terpuruk dalam kebangkrutan. Dia pergi untuk mencari kebahagiannya sendiri.

Puji syukur Alhamdulillah, dalam tempaan hidup yang diasuh oleh seorang single parent seperti diriku yang cuma seorang penjaga malam, ketiga putra dan putriku tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang mandiri. Setidaknya menurut penglihatanku.

Menjadi penjaga malam, kujalani untuk menopang ekonomi keluargaku. Kulakukan itu, walaupun dengan penghasilan yang cuma segitu, ya... segitu. Aku tak punya keterampilan lain selain mengandalkan kerja dengan tubuh sebagai modal utamaku. Yah, tak apalah... yang penting halal dan tidak keluar dari norma-norma keadaban.

oOo

Dulu,... ya dulu, pernah kurasakan juga percik-percik kesuksesan secara materi. Dimana uang, buka lagi hal utama yang dipermasalahkan. Hidupku berkecukupan, aku mampu. Mampu menghidupi istri dan anak-anakku dengan 'layak' dari hasil kerjaku sebagai pengusaha kecil-kecilan di desaku.

Dan tujuh tahun lalu, karena satu dan lain hal --yang pasti karena ketidak-mampuanku--, usahaku terkena imbas dari resesi ekonomi yang kala itu melanda negeriku. Usahaku bangkrut, gulung tikar. Hartaku ludes, tatanan ekonomi keluargaku hancur, berantakan, berceceran, tinggal puing-puing yang berserakan.

Istriku tidak tahan hidup serba kekurangan. Tidak mampu untuk hidup penuh dengan tatapan sinis tetangga-tetanggaku --menurutku, itu cuma perasaan istriku saja saat itu--, dan lalu karena ketidak-tahanannya itu dia menyerahkan hidup ketiga anak-anakku yang juga anak-anak istriku untuk aku rawat sendiri. Sementara dia pergi, pergi mencari penghidupan lain, mencari kebahagiaan lain.

Sontak aku makin terpuruk saat itu. Sudah jatuh tertimpa tangga, pas mencoba bangkit terantuk batu pula.

Aku rapuh, aku ringkih. Duniaku serasa gelap-gulita tiada pelita. Oh dunia, betapa kejam kurasa.

Keterpurukanku memang menggoncangkan jiwaku. menghancurkan hatiku, tapi disisi lain menempa hidupku.

Aku sadar, aku harus bangkit. Aku harus berdiri. Membenahi hidupku. Membenahi sisa-sisa keluargaku. Ada 3 anak yang butuh perhatianku, butuh bimbinganku. Mereka anak-anakku. Darah dagingku, generasiku dan juga hati dan jiwaku.

Sesaat setelah tersadar bahwa aku harus bangkit, akupun memutuskan untuk pergi merantau ke kota. Mencari peruntungan disana, mengadu nasib, berjuang untuk kehidupanku dan ke-3 anak-anakku. Ke Jakarta tujuanku, kota besar kota metropolitan, kota berkilau penuh sinar, menawarkan berjuta harapan. Ke Jakarta tekadku cuma satu, cari uang yang banyak untuk membiayai anak-anakku, dan membayar hutang-hutang bekas bisnis kecil-kecilanku yang ambruk karena ketidak-mampuanku.

oOo

Dan enam tahun lalu, untuk pertama kalinya kupijakkan kaki di kota itu. Kota metropolitan. Kota indah warna-warni penuh gemerlap. Yang ternyata kehidupannya tiada seindah dalam pendangan, tiada semudah dalam pengharapan.

Sementara anak-anakku aku titipkan pada kerabat di kampung yang masih mau berbaik hati merawat meraka, di kota aku mulai balajar menjalani hari demi hari berjuang untuk meraih sejumput harapan walau tanpa bekal apapun yang kupegang. Cuam niat kuat cuma tekad bulat, bahwa aku dan anak-anakku harus hidup.

Hari demi hari kulalui, saat demi saat kujalani, kuberkutat, kubergulat, dengan kerasnya persaingan hidup dikota, dengan getirnya kehidupan disana yang waktu itu aku rasa. Pekerjaan apapun aku jalani, demi untuk mendapatkan keping-keping rupiah, untukku, untuk anak-anakku dan untuk melunasi hutang-hutangku. Dari mulai jadi kuli dipasar, jadi tukang parkir dadakan bahkan sampai jadi prema terminal.

Kerasnya kehidupan makin menempaku, makin menggemblengku, hingga lambat-laun tanpa kusadari kubermetamorfosa menjadi sosok yang dingin tiada berperasaan, yang ada dalam benakku cuma harta dan benda. Tapi pada anak-anakku aku masih ingat mereka.

Uang hasil kerja kerasku dikota tiada sedikitpun aku pakai untuk foya-foya, misal main perempuan untuk melampiaskan hasrat biologisku sebagai seorang laki-laki normal yang dewasa. Aku terlalu kikir untuk membeli seorang pelacur yang mau memuaskan hasratku ketika libidoku sedang naik tinggi. Aku cukup bermain dengan tangan sendiri, itu sudah cukup memuaskanku, uangnya biar kusimpan demi anak-anakku, demi untuk membayar hutang-hutangku.

Hingga pada suatu ketika, aku bertemu dengan dia...

oOo

Dia sering memarkirkan mobilnya di tempat aku bekerja sebagai tukang parkir. Entah apa urusannya, tapi tak kurang dari 2 atau 3 hari dalam seminggu dia pasti datang ke ruko itu dan memarkirkan mobilnya di pelataran parkir yang aku jaga.

Semula aku tidak pernah peduli dan memperhatikannya, tapi dia orangnya ramah, sering tersenyum dan seringkali menyapaku. Itu yang membuat diriku sedikit demi sedikit mengenalnya diantara ratusan mobil yang sering parkir ditempat tersebut.

Tak jarang dia sering mengajakku untuk sekedar ngopi sambil ngobrol-ngobrol kecil di warung kopi kaki lima yang ada di dekat parkiran itu. Sepertinya dia tak sungkan untuk bergaul dan ngobrol-ngobrol dengan orang-orang pinggiran macam aku.

Kami banyak bercerita, dan ternyata dia berasal dari ibu kota kabupaten di mana desaku bernaung. Aku seperti mendapat saudara, yah betapa tidak, meskipun hakikatnya tempat asal kami posisinya berjauhan, tapi setidaknya aku merasa bahwa kami berasal dari satu daerah yang sama.

Dan pada malam itu, dia mengundangku untuk bermain ke suatu tempat yang katanya tempat berkumpul orang-orang dari daerah kami. Tempat semacam pertemuan paguyuban orang-orang satu daerah. Aku sangat senang sekali menerima undangan itu, betrapa tidak, aku akan berkumpul dengan saudara-saudara sedaerahku, satu kampung halamanku. Meskipun aku cuma seorang pekerja serabutan yang mengerjakan segala apapun yang aku mampu, tapi berkumpul dan berbagi pengalaman dengan saudara-saudara sedaerahku memang suatu penghargaan besar untukku.

Tapi ternyata tempat itu tidak pernah ada, teman-teman sepaguyubanpun tiada pernah ada, dia berbohong padaku, dan pada malam itu, ya pada malam itu --aku masih ingat betul malam itu... karena malam itulah pertama kali aku merasakan hal yang sebelumnya secara nalar tiada pernah terbayangkan olehku--, diiming-imingi dengan sejumlah uang, dia menjamah diriku, menyentuh tubuhku. Aku sempat mau berontak, la wong dengan tubuhku yang meskipun tidak begitu tinggi tapi gempal, aku punya banyak tenaga kuat untuk berontak, untuk meronta, untuk menolak, tapi setumpuk uang itu menggodaku. Aku seorang laki-laki dewasa yang sudah tidak aneh lagi dengan permainan asmara tapi pada saat itu sontak ku menjadi lugu dan cuma bisa diam trepaku menerima perlakuannya itu. Badanku gemetar, tubuhku menggigil, keringat dingin dengan deras membasahi tubuhku, tapi bukan karena rangsangan birahi yang dia serbukan saat itu.

oOo

Kejadian malam itu memberi aku sebuah pelajaran yang pada saat itu menurutku berharga. Otakku yang kala itu sudah money minded, membuatku berfikir, oh inikah salah satu cara mendapatkan uang dengan tidak harus suasah payah di kota sebesar Jakarta ? dengan cara menggadaikan tubuhku pada mereka, para pemburu kenikmatan dengan cara yang berbeda. Meskipun nantinya diriku tiada ubahnya seperti mereka para kupu-kupu malam yang sering lalu lalang di depan mata.

Dia sepertinya menyukaiku, dan meskipun pada saat pertama kali dia menyentuhku aku tak memberikan respon apapun selain diam membatu, dia masih mencoab mengajakku. Yang tentunya dengan iming-iming sejumlah uang sebagai pemanis madu. Dan kumulai ikuti permainan itu. Kumulai menikmati, kumulai merasai, sentuhan-sentuhan birahi dan tentunya ada yang lainnya lagi yaitu materi. Kepuasanku double rasanya, selain ku bisa melampiaskan hasrat biologisku yang selama ini tersalurkan cuma lewat tangan sendiri, kini juga bisa medapatkan sejumlah materi. Bagaimana tidak happy???

Waktu terus berlalu, hari pun terus maju, berita cepat tersebar dan kabarpun cepat menebar, menebar ke segenap penjuru hingga akhirnya kujalani hari-hariku sebagai lelaki pemuas nafsu. Hahahahahaha... dan ternyata banyak lelaki yang kelihatannya laki-laki tapi justru begitu menikmati tubuhku yang sedikit tambun berbulu.

Tapi, meskipun aku sudah tidak terlalu harus bekerja keras dalam mencari keping-keping rupiah, tinggal menunggu panggilan dari pelanggan yang dengan suka ceria menyewa tubuhku, iritku tetap aku pertahankan, hematku tetap aku jalankan. Pokoknya motivasiku cuma satu, setelah uang terkumpul, aku pualng ke kampung dan kuakhiri petualanganku.

Yah, Tuhan memang Maha Pengasih. Dia mendengar do'a-ku. Cuma berselang sekitar 7 atau 8 bulan sejak aku menjalani profesi dengan wiraswasta body, uangku sudah terkumpul lumayan cukup untuk membayar hutang-hutangku dan bekal memulai hidup baru di kampung, akupun segera pulang, aku sudah sangat rindu sama anak-anakku. Kutinggalkan kehidupan kota yang garang, ganas, kejam tapi melenakan. Lalu berakhirkah petualanganku?

oOo

Kini ku hidup tenang dengan ke-3 anakku. Yang sulung sudah mulai beranjak remaja. Dia sudah sekolah di SMA kelas 2. Sebentar kemudian dia tumbuh menjadi pemuda. Aku, oleh kerabat-kerabatku di jodohkan dengan seorang perempuan asal desa sebelah. Tapi kami masih menjalin hubungan sebagai 'pacar' --aduh, layaknya abg seumuran anakku, aku pacaran--, aku masih belum berani meminangnya untuk kujadikan sebagai istri. Anak-anakku dan kerabat-kerabatku sebetulnya sudah sering menghimbauku untuk segera meresmikan hubungan kami ke jenjang rumah tangga. Tapi aku masih menahannya. Alasanku ekonomi keluarga belum cukup mapan betul untuk membina bahtera rumah tangga.

Benarkan itu alasan yang utama? Bukan... bukan itu... Kehidupan yang sempat aku jalani di kota, ternyata tidak dengan mudah bisa aku lupakan, tidak dengan gampang bisa aku tinggalkan. Semua hal tersebut terus membekas di benakku, terus menggangu pikiranku, membayangi hidupku. Selalu kutahan tapi senantiasa makin menerjang. Aku selalu rindu sentuhan itu, aku selalu inginkan lagi cumbuan itu. Sentuhan, cumbuan, dari mereka-mereka, para lelaki yang dulu sering menjamah tubuhku.

Dan lalu diam-diam, aku mulai mencari pelampiasan...

oOo

Nak, ingin rasanya bapak ungkapkan semua ini... kegamangan bapakmu, kegundahan bapakmu, ketiada kukuhan bapakmu hingga bapak berbelok arah. Tapi bapakmu tidak sanggup mengungkap semua ini... tidak akan pernah sanggup, sampai kapanpun, pun sampai kamu mungkin bisa memahami keadaan bapak, kondisi bapak... bapak akan simpan semua ini. Sampai nanti... sampai mati...

Nak, maafkan bapak...

oOo

0 komentar:

Posting Komentar